Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

2030

Kekasih, Lihatlah, ia telah bertolak Kedua netraku menyaksikan punggungnya lenyap diterkam harap baru. Ia meringis, jiwanya lusuh terbasuh unsur bersatu. Seperti benang lusut kisut di pembuangan rumah bordir. Kekasihku bermata buah delima, Lihatlah, ia berkali kali memuai mencecap nikmat menawan, dan berjuta kali tumpas ditangan pahlawan. Ia tak berdaya, meski sekadar mengintip melalui tingkap-tingkap. Ia telah tamat. Kekasihku semanis madu, Bangunlah dari lelap panjangmu. Hari-hari penuh ratap telah terjengkang, Perhatikan rumah-rumah ibadah, Pandanglah sekolah-sekolah,  Lihatlah para pemburu nafkah, Mereka gaduh memenuhi ruang bertemu. Kekasih... Pengkhotbah mendekap mimbar, Pelajar merangkum hasil seminar, Para buruh jalanan memenuhi trotoar,  Pendemo mulai berkoar-koar. Dunia kembali dipenuhi hingar-bingar. .............. "Lelapku biarlah tak kenal lelah, Ajalku kiranya segera menjajal. Hajat hidup bergairah telah lucut.  Di setiap hati timbul segala pikiran jahat;...

Kebangkitan Kristus atau Kebangkitan Virus ?

Tak  ada habisnya bicara soal COVID-19 yang seakan selimuti dunia saat ini. Saking terbuainya, kita lupa hari raya Nyepi berlalu tanpa kasak-kusuk. Paskah yang sudah di depan mata akan diratapi tanpa bising. Idul Fitri juga terancam dilaksanakan di rumah masing-masing—wetz, tidak perlu terlalu jauh menuju hari kemenangan, Sholat jum’at yang dirumahkan sudah merupakan titik terang.   Kita tidak lagi menjumpai kepadatan rumah-rumah ibadah. Semua tampak sepi, sunyi dan dipagari. Peribadatan seperti dipecundangi pandemi. Segala ritual maupun seremoni dilucuti tanpa berani membentengi diri. Saat ini kita menghampiri Tuhan bukan (lagi) di masjid, di gereja, di vihara atau pura melainkan di rumah. Di dalam kesendirian, keheningan, ketulusan dan harap yang tidak dibuat-buat. Pandemi yang datang tanpa membawa paspor seolah menampar kita. Tuhan tidak melulu dijumpai pada perkumpulan dan keramaian, seperti dalam kitab Matius 6 ayat 5-6: “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti ...

April meratap

Biarlah lenyap ketakutan menjajah dan resah membabi buta. Biarlah rasa itu melebur dalam pekat-dinginnya tengah malam jangan kira fajar menyingsing terlalu cepat. Biar ia terkubur mati dalam gamang, ditudungi awan gemawang nun kelam dan diselimuti gerhana matahari mencekam janganlah ia menari kegirangan pada hari-hari kemelut kian sesak. Biarlah gemerlap bintang-bintang menjadi gelap hingga termangu dalam penantian sinar yang tak kunjung menggegap.. Biarlah gemuruh mengusik benteng persembunyian dan sengat urat langit membinasakan jiwanya. Karena betapa sungguh, ia mematahkan juga mengeringkan tulang-tulang semangat, meredupkan bara nalar dan menggerogoti palung logika. Mengapa aksara memperanakkan dan mengasuh sengsara?  Mendandaninya elok rupawan idaman manusia-manusia tanpa arah. Mengapa aksara mengandung lawan kata dan negasi?  Seolah setetes tawa patut bersanding sepancur air mata. Jika saja tidak, penyanitasi tangan takkan jadi rebutan  dan penimbun alat pelindung...

Surat Kecil untuk Kampung Halaman ~

Matahari sore tampak tersisa sepenggal kala jemariku liar menekan huruf-huruf pada keyboard, demi memastikan kau tahu aku merana dalam bilik setelah mendapat undangan pulang darimu. Tak hanya pikiran juga perasaanku yang menggila rindu padamu, seluruh organku mengamuk menggeliat mengusikku dalam desakan tanpa daya. Perlu kau tahu, negeri ini sedang dalam cengkraman penjajah yang datang dari negeri nun jauh. Semua terjadi begitu tiba-tiba tanpa aba-aba. Tepat seperti kabar bencana dahsyat yang datang dari wilayah tengah Sulawesi dua tahun lalu atau bak berita kematian seorang aktor kenamaan Indonesia yang berkunjung tanpa mengucap salam. Tiba-tiba saja bencana, tiba-tiba viral media sosial, tiba-tiba kontroversi berita, dan tiba-tiba wabah Corona. Virus yang paling banyak menyerang warga Wuhan, China, ini oleh WHO ditetapkan sebagai pandemi, kawan. Di indonesia tercatat sudah terdapat 1528 kasus dengan angka kematian 136 dan pulih sebanyak 81, berdasarkan sumber berita CNN Indonesia 31/...

Pamit pada Bapak ~

Gambar
Pagi tidak selalu tentang berita kekerasan semalam, ada cerita tentang mulut-mulut yang harus disuapi, pun tentang tagihan yang harus terbayar hari ini.  Ada juga cerita orang di phk yang sayup sayul saja, imbas krisis ekonomi global didepan mata. Juga doa dari tiap pintu rumah agar mereka-mereka yang pergi, kembali pulang dengan selamat.  Pagi ini bising suling kapal terasa membekas bahkan jelas terdegung enggan melangkah mendekap lupa, terus saja menjajah memori kepulangan. Asin air laut mencengkram rongga hidung. Beriak memanggil jejak langkah yang tertinggal dipalung getir kenangan. Sepertinya langkahku mematung, berjibaku dalam hasrat enggan melangkah meninggalkan senyum bapak. Mudik adalah sejatinya sukacita. Menyaksikan hangat dekapan kisah diruang tengah rumah, atau manisnya dialog antar jahe dan cabe yang mendorong narasi pernikahan keluar penuh desakan dari bibir mama disusul pengalihan pada isu isu perguruan tinggi. Lalu kembali, waktu menyengir sembari ...

Negeri para pedagang

Menjadi Indonesia adalah menjadi kesedihan yang tanpa henti. Belum kering luka yang satu, sudah tergores luka yang lain. Belum kering luka yang lain, sudah tergores luka yang baru. Asap pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra tidak hanya menganggu pernafasan masyarakat, tapi juga menutup akal sehat dan pandangan jernih para penguasa. Ada dua kabut asap yang mengepung Indonesia saat ini. Pertama, kabut asap di Riau dan sekitarnya yang disebabkan oleh kebakaran hutan. Kedua, kabut asap kekuasaan yang terjadi di pusat pemerintahan akibat konfrontasi kepentingan para elite politik dan pemodal raksasa. Negara baru dikatakan maju kalau perdebatan yang ditimbulkannya berbicara seputar ngopi enaknya di rumah atau di cafe, fakir miskin dan anak terlantar setiap bulan dikasih beras Rojolele atau Si Pulen. Kalau ribut-ributnya soal RUU ngawur itu berarti negaranya tidak beres. Wakil rakyat sebaiknya diganti saja. Sebab jelas tidak aspiratif, tidak mewakilili kehendak warga negara, dan sangat b...

Kalbu menderu ~

Bahkan dua kata yang kudengar dari gema suara mu mampu menjelma jadi mantra penyejuk dahaga akan rindu yang berusaha kuredam, namun akhirnya membara jua. Gebu rindu yang semakin ku diam semakin mengoar ngoar ingin keluar Gejolak rasa ingin temu yang meronta ronta tak kunjung bersua kamu. Sekali lagi ku katakan, Rasaku belumlah menemui titik lelah. Perasaan ini sama sekali belum lenyap, sebab diam diam rindumu masih kuharap.

mari saling melupa ~

Gambar
Kehilanganmu adalah patah bahkan jatuh terperih. Tak mau mengulang meski harus terulang. Tak perlu khawatir tentang aku yang kembali sendiri.  Aku masih bisa menyeka air mata di pipi. Aku pernah sendiri bersama sepi,  sebelum kamu datang untuk mencoba meramaikan hati.  Meskipun kau gagal menjaga,  Akan kucoba kembali melupa. Tegapkan kakimu untuk selalu menjauh, jangan datang mengharap sebuah kenang. Jika sekaranng kamu datang lagi, sayangnya pintu sudah saya kunci mati.

Punah ~

Gambar
Kau pernah disini, disisiku Pernah dengan segala cara kupertahankan Walau akhirnya, kau beranjak dari kisah kisruh dan segala luka yang kau suguh. Kini, Kita hanya saling memandang dari jauh Membisu bak terasingkan Seolah air mata menjadi wakil Tentang sesak yang kian menyeruak dalam benak. Bila nantinya padaku kau amnesia Akan kuingat segala perjuanganku yg sia sia Bahwa aku, Pernah merapal rasa yang kini telah punah.