Negeri para pedagang

Menjadi Indonesia adalah menjadi kesedihan yang tanpa henti. Belum kering luka yang satu, sudah tergores luka yang lain. Belum kering luka yang lain, sudah tergores luka yang baru.
Asap pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra tidak hanya menganggu pernafasan masyarakat, tapi juga menutup akal sehat dan pandangan jernih para penguasa.

Ada dua kabut asap yang mengepung Indonesia saat ini. Pertama, kabut asap di Riau dan sekitarnya yang disebabkan oleh kebakaran hutan. Kedua, kabut asap kekuasaan yang terjadi di pusat pemerintahan akibat konfrontasi kepentingan para elite politik dan pemodal raksasa.

Negara baru dikatakan maju kalau perdebatan yang ditimbulkannya berbicara seputar ngopi enaknya di rumah atau di cafe, fakir miskin dan anak terlantar setiap bulan dikasih beras Rojolele atau Si Pulen.
Kalau ribut-ributnya soal RUU ngawur itu berarti negaranya tidak beres. Wakil rakyat sebaiknya diganti saja. Sebab jelas tidak aspiratif, tidak mewakilili kehendak warga negara, dan sangat bertentangan dengan daulat rakyat.

Hukum yang ideal hanya hukum rimba. Di dalamnya kodok berlaku sebagai kodok. Ular bertindak sebagaimana ular. Singa tunduk dan patuh pada kesingaannya. Monyet melompat ke sana ke mari dan tidak memaksa diri menyelam ke dasar sungai.
Singkat kata, di dalam hukum rimba semuanya berjalan sesuai kodrat dan peruntukannya. Dan itu berlangsung secara proporsional, selaras, dan harmonis. Tak ada kepemilikan pribadi; tak ada penumpukan modal dan kekuasaan.

Manusia bisa mencontoh hukum tersebut. Dimulai dari kesadaran tiap-tiap orang. Yang insinyur istikamah di jalan insinyur. Ahli komputer jadilah ahli komputer yang benar-benar kompeten.
Mandor bangunan jadi mandor bangunan yang jujur, bersih, dan amanah. Yang tukang kayu memajukan dunia perkayuan nasional bahkan global. Yang dokter fokus menjadi dokter yang baik; tidak berdagang.
Yang politisi jadilah politisi bermartabat, berideologi, memunyai jiwa negarawan, dan bukan malah mengambil alih tugas para komedian dalam melawak.

Masyarakat sedang digiring untuk bergelut dengan persoalan tersier dalam bernegara supaya lupa pada persoalan primer sehingga taksadar kalau perekonomian nasional sedang morat-marit, kesejahteraan umum tinggal ilusi, dan keadilan sosial cuma mimpi.

Bahkan nyawa manusia hilang percuma tanpa dipedulikan (kepala) negara. Padahal dalam preambule UUD 1945 disebutkan salah satu tujuan dibuatnya pemerintahan adalah untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Rendra menulis sajak Kesaksian Akhir Abad hampir 20 tahun lalu, tetapi isinya masih relevan dengan yang terjadi di Indonesia hari-hari ini. Entah Rendra yang hebat dalam menalar masa depan, atau negara ini yang masih saja berjalan di tempat.

Sepenggal :
"WS Rendra - Kesaksian Akhir Abad"

Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa sampai saat puisi ini aku tanda tangani
para elite politik yang berkedudukan
ataupun yang masih di jalan,
tidak pernah memperjuangkan
sarana-sarana kemerdekaan rakyat.
Mereka hanya rusuh dan gaduh
memperjuangkan kedaulatan
golongan dan partainya sendiri.

Mereka hanya bergulat untuk posisi sendiri.
Mereka tidak peduli dengan posisi rakyat.
Tidak peduli pada posisi hukum,
posisi polisi, ataupun posisi birokrasi.
Dengan picik
mereka akan mendaur ulang
malapetaka bangsa dan negara
yang telah terjadi!

Nb: tulisan ini dibuat pada oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Boleh Minta Waktunya Sebentar?

Sini, duduk bersamaku Tuan.

Religiusitas Natal Di Tanah Surga