Kebangkitan Kristus atau Kebangkitan Virus ?

Tak  ada habisnya bicara soal COVID-19 yang seakan selimuti dunia saat ini. Saking terbuainya, kita lupa hari raya Nyepi berlalu tanpa kasak-kusuk. Paskah yang sudah di depan mata akan diratapi tanpa bising. Idul Fitri juga terancam dilaksanakan di rumah masing-masing—wetz, tidak perlu terlalu jauh menuju hari kemenangan, Sholat jum’at yang dirumahkan sudah merupakan titik terang.
 
Kita tidak lagi menjumpai kepadatan rumah-rumah ibadah. Semua tampak sepi, sunyi dan dipagari. Peribadatan seperti dipecundangi pandemi. Segala ritual maupun seremoni dilucuti tanpa berani membentengi diri. Saat ini kita menghampiri Tuhan bukan (lagi) di masjid, di gereja, di vihara atau pura melainkan di rumah. Di dalam kesendirian, keheningan, ketulusan dan harap yang tidak dibuat-buat.
Pandemi yang datang tanpa membawa paspor seolah menampar kita. Tuhan tidak melulu dijumpai pada perkumpulan dan keramaian, seperti dalam kitab Matius 6 ayat 5-6: “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi…”
Penyakit, pandemi atau virus ini tidak menakar tinggi besarnya keimanan seseorang untuk dijadikan inang. Ketika kita merasa beriman teguh pada Tuhan, jangan kira virus ini akan sungkan. Satu hal yang kita lupa dari keimanan adalah tentang “menjaga diri”. Ini terdengar sangat sederhana. Kita luput untuk membicarakannya. Beriman (juga) berarti paham untuk memperbaiki kualitas diri, tubuh khusunya. Jangan-jangan kita yang mudah sakit sudah terlebih dahulu berlaku zalim terhadap tubuh dengan tidak menjaga kebersihan tubuh  dan pola makan yang jamaknya keliru.
Hingga hari ini, pembaruan faktual jumlah pasien terdampak COVID-19 masih berseliweran di media. Rasanya tidak mungkin membincangkan apapun selain virus corona. Namun, kita perlu melihat segala sesuatu secara lebih inklusif, misalnya sebuah refleksi dan peringatan: Paskah.
 
Paskah sebagaimana diketahui merupakan hari peringatan kebangkitan Yesus Kristus. Umat Kristiani mengawalinya dengan berpuasa juga berpantang. Sebuah jalan hening menuju laku tobat serta tapa. Selan tu diharap mampu memberikan perhatian pada karya amal dan olah tobat. Meskipun memperingatinya saat seluruh dunia sedang dihadapkan pada krisis dan pandemi.
 
Kita perlu menyimak kembali arti penting dari kebangkitan Yesus Kristus. Peristiwa ini bukan sekadar suatu keajaiban menyangkut kematian satu orang. Kebangkitan Kristus merupakan jaminan pasti yang diberikan Allah atas pembaruan umat manusia juga pembaruan alam ciptaan-Nya. Terkhusus dalam situasi pandemi COVID-19 sebagaimana terjadi saat ini, seharusnya laku suci sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus menjadikan daya rohani lebih-lebih daya hidup semakin bertumbuh dan bangkit.
 
Kata bangkit adalah kata yang menggugah orang-orang untuk segera bersemangat, bergegas keluar dari situasi tertentu. Bukan tidak mungkin selama ini kita terlelap dalam laku semena-mena terhadap bumi dan terhadap sentuhan kita. Seharusnya kita tidak perlu pandemi untuk belajar tentang ketidakadilan dan penindasan. Namun kenyataan menayangkan sebaliknya. Pandemi hadir bak Juru Selamat, membangkitkan jiwa-jiwa yang terlelap dalam tipu daya serta muslihat, dalam kesemberonoan laku hidup pun dalam pemuasan diri sendiri. Hasilnya, kita berbondong-bondong (baru) menerapkan pola hidup sehat. Berolahraga, olah waktu, olah pikiran, (mungkin) olah makanan, juga olah rasa. Pembaruan laku ini merupakan esensi refleksi kebangkitan Kristus.
 
Virus menjadi indikator seberapa besar tingkat kemanusiaan kita. Seberapa simpati dan empatinya kita terhadap orang lain. Apakah sibuk membentengi diri sendiri atau turut membangun benteng bagi orang lain. Kita tentu tahu, menjalani karantina adalah satu dari sekian cara melindungi diri juga yang lain. Meski tak bisa dipungkiri, para pekerja informal dengan pendapatan pas-pasan tidak bisa swakarantina selama berbulan-bulan. Mereka harus berkeliaran, bertemu ragam rupa khalayak, lalu kembali ke pemukimam yang tak layak. Memang tindakan mereka berisiko, tapi apa harapan yang tersisa bagi mereka jka berdiam diri di rumah?
 
Benar yang dikatakan Dawn Foster dalam tulisannya, pandemi menyadarkan kita soal “tulang punggung masyarakat yang sesungguhnya adalah para pekerja dengan bayaran rendah”. Tanpa mereka, kita akan semaput. Rupanya, merekalah orang-oarang yang selama ini kita perlakukan layaknya virus; dihindari dan dijauhi.
 
Kehadiran Virus ini juga menyadarkan banyak jiwa. Memberikan kita jeda, waktu untuk bernapas, berdiam diri agar tidak mululu lari. Tidak perlu berasumsi kini manusia (mulai) menyembah virus yang telah membangkitkan religiusitas. Tapi coba kita telaah, seberapa banyak virus kini memenuhi hati juga pikiran kita? Atau jangan-jangan virus ini adalah jelmaan Kristus?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Boleh Minta Waktunya Sebentar?

Sini, duduk bersamaku Tuan.

Religiusitas Natal Di Tanah Surga