Surat Kecil untuk Kampung Halaman ~
Matahari sore tampak tersisa sepenggal kala jemariku liar menekan huruf-huruf pada keyboard, demi memastikan kau tahu aku merana dalam bilik setelah mendapat undangan pulang darimu. Tak hanya pikiran juga perasaanku yang menggila rindu padamu, seluruh organku mengamuk menggeliat mengusikku dalam desakan tanpa daya.
Perlu kau tahu, negeri ini sedang dalam cengkraman penjajah yang datang dari negeri nun jauh. Semua terjadi begitu tiba-tiba tanpa aba-aba. Tepat seperti kabar bencana dahsyat yang datang dari wilayah tengah Sulawesi dua tahun lalu atau bak berita kematian seorang aktor kenamaan Indonesia yang berkunjung tanpa mengucap salam. Tiba-tiba saja bencana, tiba-tiba viral media sosial, tiba-tiba kontroversi berita, dan tiba-tiba wabah Corona.
Virus yang paling banyak menyerang warga Wuhan, China, ini oleh WHO ditetapkan sebagai pandemi, kawan. Di indonesia tercatat sudah terdapat 1528 kasus dengan angka kematian 136 dan pulih sebanyak 81, berdasarkan sumber berita CNN Indonesia 31/03/2010. Coba banyangkan itu. Meski sebelumnya, penduduk negeri ini riuh beraknedot soal kekebalan warganya akan ancaman wabah pandemi. Kau pahamlah, negeri ini adalah negeri para penggiat humor. Mautpun sesekali tersanjung karena jadi materi stand up comedy.
Tapi bukan soal humor yang ingin kuuraikan, kawan. Ini tentang dampak dari pandemi yang sekonyong-konyong meluluh lantahkan kesempatan kita bersua.
Ada satu istilah yang sangat tren dari fenomena ini yaitu “physical distancing” (jaga jarak), yang mewajibkan seluruh warga bumi membatasi ruang temu juga gerak demi menghindari resiko penyebaran wabah secara masif. Bukan apa-apa,kawan, sebenarnya dunia sedang ditimpa penyakit antisosial yang membuat kita menutup sebelah mata dari kisruh relatifitas yang begitu lekat pada keseharian. Menutup mata dari saudara-saudari yang mengais sampah demi membuat usus mereka tetap terisi. Menghindar dari ruang – ruang temu demi memilih berugujing di social media. Bahkan menjadikan pertemuan keagamaan yang dilaksanakan berjamaah, hanya menjadi sebatas rutinitas. Salam sapa hanya sekadarnya, pun jika tidak tak masalah. Menanyakan kabar hanya sebuah basa-basi agar tak diberi label “tak peduli” padahal sejatinya bibit apatis sedang mekar – mekarnya.
Kawan, ada pepatah Jawa yang sudah sangat lama sekali dan (semoga) masih relevan sampai saat ini. Karuan mbangun pager upa, mbangane pager bata (mending membangun pagar nasi, daripada membangun pagar batu bata). Upa (upo) artinya adalah sebutir nasi. Konteks dari pepatah tersebut intinya adalah tentang hubungan harmonis dengan tetangga atau lingkungan sekitar tempat tinggal atau di manapun berada. Upo ini adalah apa yang setiap hari ditemui, diupayakan, disantap, oleh masyarakat pada waktu itu (mungkin hingga saat ini) bahkan dibagikan pada saat-saat tertentu atau pada hari hari biasa.
Mbangun pager upa berarti membangun keharmonisan atau kerukunan dengan cara berbagi rejeki atau berempati kepada tetangga atau pula lingkungan sekitar yang membutuhkan supaya tercipta ikatan emosional antar warga, sehingga antar warga saling menjaga, saling peduli, dan saling mengayomi. Walaupun ada gangguan, bisa sesegera mungkin diatasi.
Sementara kondisi kini mempertontonkan sebaliknya, orang-orang justru lebih memilih mendirikan tembok-tembok pemisah. Mbangun pager bata adalah sikap yang menutup diri, tidak empati, apatis terhadap lingkungan sekitar sehingga tercipta jarak antar warga.
Belum lepas dan terobati dari aib ini, kawan, dunia didatangi wabah yang seolah semakin mengekalkan jarak antar umat. Memang benar menjaga jarak adalah suatu kebijakan situasional (lebih tepatnya keputusan kepepet), dan bukan wewenang saya juga untuk memberi opsi solusi, hanya menjalani dan memilih berdiam diri. Tak ada interaksi, tak ada interupsi hanya mengikuti instruksi isolasi.
Himbauan untuk meminimalisir pertemuan memberi dampak bagi para pedagang kecil yang tak bisa memilih untuk tetap tinggal di rumah bersama keluarga. Alih-alih menghindari ancaman pandemi dengan mengisolasi diri di rumah, mereka justru terancam kelaparan. Coba bayangkan itu, kawan.
Keputusan untuk tetap di luar juga bukan yang paling menguntungkan. Virus yang secara terang-terangan menular dari jarak kurang dari satu meter ini membentang jarak antar penjual dan pembeli. Warung pinggir jalan, pedagang kaki lima tampak sepi, lengang dari pengunjung. Pedagang siomay yang biasa berkeringat menjamu pelanggan yang mengantri, kini mengucurkan lebih banyak keringat demi mengeliling lorong lorong kecil berharap mendapat penggilan, yang justru mendapati pintu – pintu terkunci. Melihat wajah para pedagang yang duduk termangu rasanya seperti melihat kemanusiaan terharu.
Kematian beberapa pasien yang berstatus dalam pengawasan lebih membuat bulu-bulu halus bergidik, kawan. Sanak keluarga seperti tak berhak meratapi jenasah apalagi mendekati, bahkan tak disarankan untuk mengadakan doa bersama kerabat terdekat sekadar memberi penghiburan. Alih-alih dihibur, keluarga justru dicibir.
Jika berkeliling pada ruas ruas jalan raya, baik itu tengah kota atau pinggiran pelosok, sudah tak lagi ditemukan perkumpulan; di ruang-ruang pertemuan, di warung-warung kopi dan atau di ruang tamu keluarga. Tak ada lagi temu, sebab orang – orang enggan bertamu. Tak ada perjumpaan, dan perjamuan hilang bersamanya. Pertemuan kini menjadi sesuatu yang tabu. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “bertemu” memiliki banyak makna; jika dipadankan pada harapan dan cita-cita, bertemu berarti “sampai atau tercapai”. Artinya, jika pertemuan hilang, maka seyogyanya tak perlu muluk-muluk berharap pada tercapainya cita-cita. Bertemu adalah menjalin hubungan, hubungan yang intens melahirkan komunikasi yang hidup. Hidup tanpa berkomunikasi sejatinya adalah mati.
Kusampaikan ini padamu, kampung halamanku, agar kau tahu temu tak lagi berpihak pada kita. Supaya kau mengerti, terpenjara dalam ruang tiga kali empat ini adalah penantian akhir hidup. Berharap bertemu sang pemilik kehidupan yang tak lagi dekat.
Salam!
Komentar
Posting Komentar