Pamit pada Bapak ~
Pagi tidak selalu tentang berita kekerasan semalam, ada cerita tentang mulut-mulut yang harus disuapi, pun tentang tagihan yang harus terbayar hari ini.
Ada juga cerita orang di phk yang sayup sayul saja, imbas krisis ekonomi global didepan mata. Juga doa dari tiap pintu rumah agar mereka-mereka yang pergi, kembali pulang dengan selamat.
Pagi ini bising suling kapal terasa membekas bahkan jelas terdegung enggan melangkah mendekap lupa, terus saja menjajah memori kepulangan.
Asin air laut mencengkram rongga hidung. Beriak memanggil jejak langkah yang tertinggal dipalung getir kenangan.
Sepertinya langkahku mematung, berjibaku dalam hasrat enggan melangkah meninggalkan senyum bapak.
Mudik adalah sejatinya sukacita. Menyaksikan hangat dekapan kisah diruang tengah rumah, atau manisnya dialog antar jahe dan cabe yang mendorong narasi pernikahan keluar penuh desakan dari bibir mama disusul pengalihan pada isu isu perguruan tinggi.
Lalu kembali, waktu menyengir sembari menatap tajam kedua bola mata tanpa iba, merenggut hangat dan manisnya pulang.
Menyisahkan tiga pasang mata saling memandang tanpa suara tanpa asa dan tanpa meminta untuk menunda. Seolah pergi adalah keniscayaan hadiah atas pulang.
"Biar ku tebas kecanggungan ini Bapak", hingga mama tak perlu menghabiskan malamnya kedinginan berlapis bantal basah hujaman air mata.
Ocehan terkadang tentang menertawakan diri, "begitu berat untuk pulang, namun sulit untuk pergi"
Sungguh pulang dan pergi adalah sebuah kepiluan, dan betapa kelamnya pilu ketika diam dalam persimpangan harus pulang atau justru meninggalkan.
Hingga langkah membawa diri pada pergi jua.
Meraih keriput kulit tangannya dan menciumnya.
Membiarkan tubuhnya menghambur dalam pelukan.
Biru dan Jingga ikut berbincang sepanjang jalan. Tentang cerita panjang yang telah dan akan.
Mata tak terpejam.
Telinga selalu mendengar.
Menyimak cahaya nyata yang diabaikan, dikeluhkan dan disalahkan.
Pergi untuk kembali pulang?
TIDAK!
Aku pergi untuk mencari jejak menuju rumah.
Karena kepulangan dan rumah bukan tentang raga, melainkan hati dan jiwa.
Komentar
Posting Komentar