April meratap
Biarlah lenyap ketakutan menjajah dan resah membabi buta.
Biarlah rasa itu melebur dalam pekat-dinginnya tengah malam
jangan kira fajar menyingsing terlalu cepat.
Biar ia terkubur mati dalam gamang, ditudungi awan gemawang nun kelam dan diselimuti gerhana matahari mencekam
janganlah ia menari kegirangan pada hari-hari kemelut kian sesak.
Biarlah gemerlap bintang-bintang menjadi gelap
hingga termangu dalam penantian sinar yang tak kunjung menggegap..
Biarlah gemuruh mengusik benteng persembunyian
dan sengat urat langit membinasakan jiwanya.
Karena betapa sungguh, ia mematahkan juga mengeringkan tulang-tulang semangat, meredupkan bara nalar dan menggerogoti palung logika.
Mengapa aksara memperanakkan dan mengasuh sengsara?
Mendandaninya elok rupawan
idaman manusia-manusia tanpa arah.
Mengapa aksara mengandung lawan kata dan negasi?
Seolah setetes tawa patut bersanding sepancur air mata.
Jika saja tidak, penyanitasi tangan takkan jadi rebutan
dan penimbun alat pelindung kesehatan tak menjadi marak.
Atau mengapa kelahirannya tak bernasip "nanar" sahaja?
Terselip dalam lipatan kamus besar, nadir bagi dialog berkabar.
Mengapa kosa kata sengsara terang benderang dihadapan yang awam?
kisut menanti maut
mencarinya bak menggali harta karun
bersenandung riang bersorak girang kala menemukan liang kubur.
Apa yang ditakutkan?
menimpanya
dan apa yang dicemaskan?
menjejakkan kakinya.
Sebab bagi resah gelisah tak ada tenang juga tentram.
Dan jika kata-kata masih benar sebuah rangkai doa
Biarlah jiwa-jiwa resah berharap corona bangkit dan berkata-kata "ini hanya tipuan satu april!”
~
Komentar
Posting Komentar