Boleh Minta Waktunya Sebentar?
Sehari sebelum menulis ini, saya berangkat ke salah satu pusat penjualan kain batik, bertemu dengan seorang ibu yang tengah asik memilih dan memilah potongan kain, bersama anaknya yang meraung ingin segera pulang.
Berusaha mencuri dengar percapakan mereka, saya berhasil merekam ketika ibunya berkata "sabar nak, tunggu sebentar" sontak anak tersebut membalas "ah, sebentarnya lama".Jawaban anak itu menguak seluruh kejadian masa kecil, di mana waktu terasa begitu panjang dan berjalan sangat lamban hingga sehari saja cukup untuk melakoni beragam jenis permainan dan aktivitas.
Sedang dewasa ini terasa seperti tengah berlomba dengan waktu, berkejaran dengan aktivitas, dan berpacu dengan deadline.
Karena begitu singkatnya, waktu menjadi sangat berharga, efektivitas penggunaan waktu pun menjadi sebuah judul buku atau diskurus penelitian.
Ketepatan waktu pun kini menjadi issu paling mendominasi.
Banyak hal yang kini menjadi penyesalan akan waktu yang begitu lihai memakan habis kenangan dan melahap dengan rakus seluruh memori.
Kebahagiaan yang nyaris setiap hari menjeru, kini tak ada lagi. Waktu yang berlalu mengubur seluruh ingatan akan drama rambut maunya dikepang atau diikat.
Rasanya waktu menjadi begitu cepat dari seharusnya, padahal balita atau uzur, kita tetap pada jatah waktu yang sama.
Terkadang, waktu semalam untuk tidur terasa hanya terjadi beberapa detik saja, padahal sudah menghabiskan lima hingga enam jam sampai akhirnya terbangun. Otak berhenti memproses memori baru ketika tertidur, persis seperti teori relativitas, dilatasi waktu.
Wajar jika semakin bertambah usia, bertahun-tahun yang terlewati akan terasa begitu cepat ketika otak difungsikan untuk rutinitas tanpa membuat memori baru, hanya terlibat dalam repetisi.
Wajar jika semakin bertambah usia, bertahun-tahun yang terlewati akan terasa begitu cepat ketika otak difungsikan untuk rutinitas tanpa membuat memori baru, hanya terlibat dalam repetisi.
Kemudian kaum borjuis mejeng mengumandangkan "waktu adalah uang". Banyak yang mengorbankan waktu bersama keluarga demi seikat uang yang katanya bisa menjebatani jurang antar kultural, agama, atau ras, tapi nyatanya justru memisahkan dan menciptakan jurang waktu. Yep, konsepsi waktu adalah uang akhirnya membuat sesi berbagi kisah (curhat) kini bernilai rupiah. Orang-orang mulai membuka jasa mendengarkan cerita dengan durasi dan tarif. Sejenis layanan konsultasi psikolog sepertinya, namun tanpa jalur pendidikan khusus.
Bukan tanpa alasan, memilih sesi curhat berbayar menjadi jalan pintas ketika orang terdekat tak lagi mampu sekadar meluangkan waktu untuk mendengar, enggan menyempatkan diri berkumpul dan berkabar.
Bersambung.....
Komentar
Posting Komentar