Religiusitas Natal Di Tanah Surga

Bukankan rempah justru lebih menwakili iman kristiani; sederhana dan bermanfaat.


Setelah penantian sebelas bulan, hari itu tiba juga. Hari kelahiran Yesus Kristus, hari di mana umat Kristiani ramai menebarkan kasih dan damai. Betlehem telah melahirkan peradaban besar.

Tidak hanya sepekan menjelang hari raya yang jatuh pada 25 Dsember, sejak sebulan sebelumnya masyarakat telah bersiap. Mneyiapkan pernak-pernik lampu, serta pohon dengan berbagai ornamen yang dipasang di pojok rumah. Natal telah menjadi rutinitas tradisi menjelang akhir tahun yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak menikmati gemerlap dan nyaring ledakan kembang api yang dibunyikan sejak malam natal hingga menyambut tahun baru, juga euforia akan bingkisan warnawarni yang menanti ditelanjangi. Aktivitas menghias rumah, membuka kado natal, membuat nastar dan putri salju, membunyikan petasan dan kembang api adalah daftar agenda yang masih menjamur, pun pasca pandemi.

Media - media gencar memuat kabar kemeriahan menyambut natal di berbagai wilayah, tak ketinggalan berita kenaikan omzet kios-kios yang menjual pernak-pernik natal dengan harga tinggi. Salah satunya pohon cemara yang menjadi simbolitas natal masa kini dengan hiasan kapas putih sebagai salju.

Dalam kasus ini saya tergerak mempertanyakan cemara sebagai simbol khas umat kristiani. Mengingat cemara bersalju sulit ditemukan dalam lingkungan geografis kita.
Pohon cemara sendiri berasal dari kebudayaan di Eropa, tepatnya Jerman pada abad ke-16, kemudian menyebar ke Amerika dan ke seluruh dunia. Sementara pohon cemara tidak ada sama sekali hubungannya dengan kelahiran Yesus.

Cemara dan riasan ini sebetulnya adaptasi kisah Marthin Luther yang terkesan meyaksikan gemerlap bintang di langit ketika ia berjalan di hutan cemara. Ia kemudian menebang satu cemara dan membawanya pulang. Untuk membuat efek gemerlapan, dia memasang lilin – lilin di tiap cabangnya (sumber: kompasiana). Maka dari sanalah lahir tradisi yang menjadi awal “industri natal”.

Umat kristiani memborong atribut natal yang sejatinya tak ada sangkut pautnya akan esensi natal itu sendiri. Sehingga industrialisasi di belahan dunia semakin dikekalkan iman dalam keagamaan.

Dibanding cemara dan salju putih, Bangsa ini lebih akrab dengan pohon pala, cengkih, kayumanis dan tanaman rempah lainnya.

Sebelum lanjut, coba simak penggalan puisi W.S. Rendra, Balada Penyaliban Yesus:
Yesus berjalan ke Golgota,
disandangNya salib kayu bagai domba kapas putih.
Tiada mawar-mawar di jalanan.
Tiada daun-daun palma.
Domba putih menyeret azab dan dera merunduk oleh tugas teramat dicinta dan ditanam atas maunya.

Selain itu, baca dulu bait lagu yang ditulis oleh seorang penyair sekaligus pelopor sastra Mbeling, Remi Sylado:
Jika aku mati aku ingin pohon cemara tanan dalam hatiku bekalku nanti dihari pengadilan,

Dua penggalan puisi di atas terasa cukup aneh. Mengingat keduanya adalah seorang penyair yang tentunya memiliki keberanian menyeret sebuah diksi keluar jauh dari wilyahnya untuk dibumikan di daerahnya sendiri. Tapi mereka tetap mengambil nama-nama pohon yang asing dengan kita. Palma, kapas dan cemara bukanlah tanaman tropis.

Tanaman-tanaman yang ada di sekitar kita justru dinarasikan oleh rohaniawan ataupun intelektual Eropa di abad pertengahan sebagai tanaman surga. Asal-usul surgawi rempah telah menjadi bagian dari keyakinan agama Kristen di tahun-tahun awal penyebarannya. Hingga rempah yang berasal dari wilayah timur ini, sempat diyakini tumbuh di surga. Doktoral Gereja dari Italia, mengatakan bahwa rempah merupakan cita rasa surgawi dan menjadi lebih dari sekedar penyedap pangan.

Santo Isidore dari Sevilla dalam buku "deskripsi mengenai dunia Timur dan Surga duniawi" yang paling berpengaruh dalam periode awal Kekristenisasi, menyebut surga dalam bahasa Ibrani sebagai “Tanaman Firdaus”, diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol menjadi Delicie, tempat penuh kemewahan atau kenikmatan, menjadi “Taman Kenikmatan” yang ditanami berbagai jenis kayu dan pohon buah, termasuk pohon kehidupan.

Dunia fantasi dalam The Romance of the Rose, salahsatu puisi yang paling populer pada masanya, juga menggambarkan cita serupa yang berbunga-bunga dan beraroma rempah. Dalam penciptaan dunia-dunia fantasi tesebut, kehadiran rempah sama penting dan puitisnya dengan unsur-unsur seperti tanah yang permai, ksatria gagah berani dan para putri.

Seharusnya tanaman pala, cengkih, kayumanis juga tanaman rempah lainnyalah yang menjadi kiblat simbol pohon kehidupan dan lebih layak dijadikan ornamen natal. Seharusnya bangsa-bangsa yang turut menjiplak cemara sebagai simbolis natal, berani melirik tanaman rempah sebagai substitusi cemara yang sudah membudaya hingga kini.

Jika cemara menjadi primadona natal karena lambang kehidupan yang ditandai dengan tumbuh suburnya cemara di wilayah bermusim salju ketika seluruh tanaman lain justru kuncup. Rempah dan rumpunnya jauh lebih mencerminkan hidup. Tak hanya jamak ditemukan pada beragam masakan, cengkih juga mengeluarkan aroma yang khas, membuatnya menjadi bagian komposisi kretek. Bukankan rempah justru lebih menwakili iman kristiani; sederhana dan bermanfaat. Sebagaimana Kristus lahir dalam kesederhanaanNya, sedang kehadiranNya untuk kemaslahatan umat, sebagai Juru Selamat.

Ini sebuah opsional bagi seluruh penduduk yang merayakan natal untuk menilik lebih jauh lagi perihal realitas simbol. Rempah dalam tradisi kita cukup dekat dengan ibu dan dapur. Ibu yang berada di dapur adalah simbol kesederhanaan. Di dapur, Ibu telaten dan rajin memasak peradaban dan menyajikannya dengan penuh kasih. Natal mesti dikembalikan pada makna asalnya. Umat kristiani wajib membangun peradaban dengan penuh kasih sayang dan kesederhanaan. Bukan sebaliknya menyeret natal ke wilayah hura-hura dan bisnis.

Komentar

  1. Ini bukan soal rasa, melainkan kualitas cemara sebagai pohon. Hidup ditengah kebekuan bukanlah perkara mudah, mungkin itu makna yang tersirat pada pohon tersebut, setau saya ke kristenan syarat akan cinta kasih, belajar dari pohon cemara tetap mempesona walau dalam kebekuan, aku harap hatimu bak pohon cemara tetap mempesona ditengah hamparan hati yang bengis dan kejam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Boleh Minta Waktunya Sebentar?

Sini, duduk bersamaku Tuan.