PULANG
Kembali kaki menapaki bumi manusia timur indonesia. Menghirup aroma tumisan ikan asin yang sudah mewakili nikmatnya. Berdamai dengan senandung kicauan jangkrik yang beradu dengan paduan suara katak pohon.
Tiada rupa menjadi beda,Pun keriput pada pipi bapak tampak tak berubah, rambutnya yang sedari dulu nampak hitam dengan putih hanya setitik, masih saja seperti kala ku raih telapak kanannya dan kukecup seraya mengucap pamit.
Senyumnya merekah, menyambutku melangkah setengah berlari menggandeng ransel berisi pakaian kotor. Kupeluk erat tubuh rentanya, kudengar suaranya bergetar mencoba mengalihkan haru rindu, meramu sebuah jenaka bahwa aku tampak hitam dekil tak menarik. Dan aku percaya itu. Percaya bahwa bapak sedang mengawur.
Belum kupindahkan tas dari bahuku, mama mendahului, menjamu dengan kicauannya yang tentu lebih bising dari burung perkutut memanggil wanitanya di pagi hari. Dengan sepiring donat berselimut gula bersanding teh tawar hangat. Ku rampas bawaannya itu lalu ku cium kedua pipinya, tangannya liar memukul lenganku katanya "kenapa lama baru pulang?"
Kusambut rindunya dengan jawaban "sedang mencari jodoh".
Mendengar kata jodoh air muka mereka berubah, meski berhasil menyembunyikan di balik sukacita pertemuan kami. Bagi mereka Puput masih saja putri kecil yang tiap malam mengompol. Benar kataku, semua tampak sama.
Ternyata aku luput, ku tatap wajah bapak, bibirnya, suaranya. Bapak nyaris ompong seluruhnya, giginya rontok satu persatu katanya. Usia yang tak lagi muda menyihirnya justru kembali menjadi bayi tanpa gigi.
Kami mengobrol, menuntaskan rindu yg kian menyeruak, menghabiskan hidangan bak tamu agung. Padahal yg datang adalah anggota rumah, tercantum dalam kartu keluarga yang tentu bisa menjamu diri sendiri.
Kukisahkan pada mereka perjalanan pertamaku di atas laut.
Kutemui begitu banyak masyarakat Papua dengan dialek khas mereka yang sesekali kucoba rapalkan dan berujung tak sedap dinikmati telinga, kataku. Kata bapak, masyarakat Papua memang gemar berpergian, menjelajah di tanah rantau.
Tawa kami melengking memecah rindu.
Kuceritakan pertemuanku dengan pria separuh baya yg membagi rendang bekalnya untuk ku, bukan itu saja bahkan mengangkatkan barang bawaanku menuruni tangga kapal.
Betapa kapal berhasil menggiring pertemuan pada sosok malaikat tanpa jubah putih seperti dalam visualisasi drama fiksi.
Kuceritakan pertemuanku dengan pria separuh baya yg membagi rendang bekalnya untuk ku, bukan itu saja bahkan mengangkatkan barang bawaanku menuruni tangga kapal.
Betapa kapal berhasil menggiring pertemuan pada sosok malaikat tanpa jubah putih seperti dalam visualisasi drama fiksi.
Tak cukup sebatas perihal berlabuh dari satu tempat ke pelabuhan lainnya, kapal tentang sebuah lelucon keluarga, bayangkan saja bagaimana tawa memecah di tengah amukan ombak kala saling desak dalam antrian menuju ruang makan dengan teriakan ala pemandu gerak jalan.
Bapak mengernyitkan dahi lalu menanyakan perihal menu.
Tak ingin kuceritakan betapa lidah merindu mencecap lezat hidangan rumah.
Bapak mengernyitkan dahi lalu menanyakan perihal menu.
Tak ingin kuceritakan betapa lidah merindu mencecap lezat hidangan rumah.
Aku rindu pulang.
Komentar
Posting Komentar