Kamu Wajib Covid, Setidaknya Sekali Seumur Hidup!
Makassar baru saja mengumumkan dirinya sedang berada di pembatasan level tiga. Disusul hasil tes pcr yang menyatakan saya positif Covid. Bukan panik atau kaget, saya bingung bagaimana cara menyampaikan kabar asing ini ke keluarga. Bagaimana harus izin ke kantor yang baru seminggu memulai adaptasi. Dan bagaimana menjalani hari-hari sebagai penyintas nantinya. Terkesan visioner. Tapi milenial menyebutnya overthinking.
Satu hal yang akhirnya saya sadari, Covid bukan perkara remeh temeh bak topik obrolan pasangan baru di penghujung malam lewat telepon. Covid bukan penyakit menular sejenis flu batuk yang sering saya dengar dari mulut mulut mereka yang belum terjangkit.
Berat rasanya menerima kenyataan bahwa saya, dengan sangat terpaksa bergabung menjadi pasien covid gelombang tiga, tahun 2022. Padahal, belum lama ini cukup berbangga diri karena berada di lingkup yang aman aman saja, pikirku.
Kisah ini dimulai tepat pukul 06.15 Wita. Alarm di Selasa pagi, 15 Februari. Tenggorokan sakit, kepala pening. "Wah kayaknya bakal flu berat nih" gumamku sembari menegadah ke langit-langit kamar berharap temu pada jawab "yes, you will". Tentu saja tidak ada.
Ku tarik handuk yang menggelayut di jemuran tali tua. Kemudian membasuh seluruh badan dengan air dari keran yang tak ku biarkan berhenti mengalir. Yeah that's an alibi, biar konserku berjalan mulus pagi ini.
Kemudian semua berjalan seperti rutinias kuli tinta pada umumnya. Terlalu panjang kalau ku jelaskan secara terperinci, jempolku tidak sehebat itu.
Menjelang malam, 19.20, saya tiba di kantor untuk pertemuan rutin harian. Pusing dan radang tenggorokan semakin menggerogoti saya.
Sepulang dari kantor, saya menyempatkan diri mampir ke Indomaret untuk beli YouC. Sejenis minuman supplement vitamin. Kuteguk di saat itu juga. Habis dalam satu tegukan. Kemudian melangkah pulang.
Di rumah, tanpa menengok kiri dan kanan (nu kira mau nyebrang) saya mengambil posisi tidur meringkuk. Dingin sekali malam itu. Tanpa sadar, rupanya saya menginggau. I knew this from my sister. We slept together that night.
Paginya, 16 Februari, saya bangun pukul 08.00. Memesan ojol dengan rute rumah - puskesmas. Tanpa antri, perawat mengarahkan saya untuk bertemu dokter umum. Dokter meminta saya menuju ke laboraturim untuk melakukan pemeriksaan berupa tes PCR. Hasilnya mengatakan saya positif Covid. Haha
Segera setelahnya, saya mencari kontak redaktur untuk izin. Meminta maaf lewat group karena tidak bisa bergabung dalam rencana hari itu, sekaligus memberi dan meminta sokongan semangat. We support one another.
Pihak kantor meminta saya merujuk diri ke pusat isolasi di Kota Ini, untuk alasan keamanan, kenyamanan dan pemulihan. Tapi keluarga memilih membuat saya tetap di rumah. Lebih dekat, lebih mudah dijangkau. Pikir mereka.
Mendapat tiga macam jenis obat dan satu vitamin yang harus diminum bergantian seusai makan rupanya tidak lantas menghilangkan nyeri di kepala, di tenggorokan.
OK Fine! Gelajanya sama seperti flu pada umumnya. But everyone should know, sakitnya dua kali lebih sakit dari flu biasanya.
Someone brought me an orange and apple. At night i ate those all. Guess what i felt! Tenggorokan ku tiba-tiba perih. Bukan sakit lagi, tapi PERIH - lirik lagu Vierra yang hitz pada masanya - seperti bekas sayatan silet ditetesi perasan air jeruk nipis. OMG what's going on here?!
Tidak hanya itu, kepala rasanya sakit sekali. Eh tidak, maksud saya sakit duakali. Seperti ada sesuatu di dalamnya. Menggebu, menyeruak ingin keluar. Ah sakitnya. Rambut ikutan rontok di saat yang sama. Ok, saya memang tidak pernah akur dengan perkara rambut rontok. Tapi kali ini, sungguh keterlaluan.
Saya coba berunding dengan sisi diriku yang lain. Jumat, 17 Februari, 10.56 wita, saya menuju Wisma Shafa untuk dapatkan perawatan. Artinya masa isolasi awalku sisa lima hari lagi untuk mendapatkan PCR selanjutnya. Besar harapku, hasilnya negatif.
Wisma Shafa
Bangunan Wisma Shafa masih baru. Terlihat bersih dan terawat. Di halaman depan berjejer kendaraan dinas dengan tulisan FIT SULSEL berwarna biru.
Di loby, ada sofa hitam panjang yang siap menjamu. Di sisi kiri, pun kanan loby. Perawatnya ramah. Bintang lima lah.
Saya diajak langsung ke lantai 3. Kamar nomor 319. Fasilitas kamarnya cukup nyaman. Springbed, lemari pakaian, meja, kursi, TV, AC, kamar mandi yang dilengkapi exhaust, serta jendela yang memungkinkan matari masuk tanpa permisi. Namum tetap ku persilakan.
Selesai beberes, saya disambut ketukan tiga kali di balik pintu. Oh sudah waktunya makan siang. Kotak putih ku buka, pertama yang ku lihat adalah ayam goreng. I don't eat chicken honestly! Tidak masalah, saya masih bisa makan sayur kangkung tumis dan perkedel jagung. Tapi terpaksa bintang satu. Ada ulat di sayurnya. Tidak dicuci ya sayurnya ?? What the heck
Rasanya saya terlalu jauh, mulai bias ke mana mana, sampai memberi ulasan soal pelayanan wisma segala. But one more thing. Saya jatuh suka pada cermin yang bertengger di sudut kamar depan pintu toilet. That's such an amazing mirror I guess.Malam hari di Wisma Shafa. Seluruh pasien diminta ke loby untuk pengambilan foto rontgen. Tidak tahu pasti alasannya apa, saya pun tidak bertanya. Hanya manggut dan menurut ketika diminta bertelanjang dada. Sekembalinya ke kamar, kudapati group whatsapp baru melintas di notifikasi bar ponsel milik saya, bertuliskan New Wisma Shafa, diapit dua emoticon buah anggur ungu.
Pagi hari di Wisma Shafa. Saya dibangunkan ketukan diujung lorong, nyaris menuju pintu ruanganku. Saya mulai mawas diri. Siap-siap menyambut sarapan hari ini. Saya kalah telak, tebakanku melesat jauh. Sepasang perawat masuk membersamai sekotak suntikan terkemas plastik tanda baru dan siap digunakan. Tersusun rapi di atas kursi roda pengganti meja dorong. Pagi ini, pengambilan sampel darah setiap pasien. Saya saksikan tanpa kedipan, darahku berpindah dari lengan melalui jarum suntik. Setelahnya ditransfer ke Vacum tube.
Masih ingin ku lanjutkan kisah ini sejujurnya. Tapi sudahlah, batuk ku makin parah. Hendak minum obat dahulu. Ku lanjutkan petang esok jika ingat.
Pesanku, kamu wajib kena COVID, setidaknya sekali seumur hidup! Bye
Semoga bisa menyusul bestieee😘
BalasHapusSemangat kak puput, cepat sembuh ya, kangen nih🥰😇
BalasHapus