Muslim Natalan ke Gereja, Toleransi atau Curiosity ?
Hari raya besar keagamaan, natal, sudah terlewati. Sukacita luar biasa, tahun ini bisa memperingatinya dengan bersua di satu atap bersama keluarga untuk menuang hangatnya suasana pun rasa bahagia.
Tetiba teringat tahun-tahun natal terakhir bersama kerabat yang justru tidak merayakan.
Sedikit rayuan dan iming iming, mereka terperdaya untuk nimbrung dalam perayaan gerejawi tersebut, bahkan satu diantaranya justru menawarkan diri. Wkwk
Batinpun bersorak bak bala tentara sorga menyambut hari kelahiran sang juruslamat. Begitulah perantau tanpa keluarga, kerap mengukuhkan jalinan rumpun keluarga lewat keakraban antar sejawat.
Mereguk penasaran, tiga muda mudi masjid inipun berkemeja rapi, menyibuki diri dengan opsional jawaban akan pertanyaan para jemaah legal, juga membekali diri untuk berbagai ritual.
Berjalan beriringan menuju altar mengikuti arahan tanpa protes, wajah mereka merona tersentuh kerlap kerlip ornamen lampu pohon imitasi.
Ibadah berlangsung dan mereka tampak begitu menikmati, seorang membisik "seperti sedang nonton konser" spontan tawa meledak dalam dendang alunan musik pujian dan tarian.
Worship leader mengajak bertepuk tangan, mengangkat tangan serta berjabat, mereka sergap menyodorkan salam kepada lian, mengucap selamat dengan senyum yang tak ditahan tahan.
Seluruh pujianpun mereka kumandangakan, mengikuti lirik dan bait lagu yang terpampang lewat tv raksasa.
Tak pernah benar benar tahu warna emosi mereka kala itu.
Yang jelas sepulang dari natal minggu sore itu, seorang dari mereka terus melantunkan lirik amazing grace terus menerus sambil berupaya menghapalkan keseluruhan bait.
"Amazing grace, how sweet that sound, that saved a wretch like me. I once was lost, but now I'm found was blind, but now i see"
Seringnya menjadi bahan candaan, namun tak jarang justru menjadi sebuah pertanyaan. Inikah toleransi ?
Jika menilik makna toleransi berdasarkan kamus oxford, tolerate berarti allow somebody to do something that you disagree with or dislike. Dengan kata lain, accepting without having to act on it.
Jadi toleransi adalah menerima, dan membiarkan sebuah eksistensi atau sebuah praktik (misalnya ritual keagamaan) berlangsung tanpa perlu intervensi di dalamnya. Terlepas apakah kita suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju dengan semua itu.
Antitesa sementara, aksi mereka bukan sebuah bentuk toleransi.
Hal inilah kemudian menjadi berdebatan tanpa akhir pada setiap flatform media.
Menggaungkan toleran ketika bergabung dalam perayaan agama lain, marak digugaat sebagai sebuah kebablasan toleransi.
Dalam keluarga saya, perihal toleransi beragama adalah mata pelajaran yang sudah sejak lama tuntas. Hidup rukun bersama nenek, paman, kakak yang berbeda secara ajaran agama tidak membuat kami terusik.
Beberapa kali ada saudara yang menunjukan sukacitanya lewat postingan, dengan tulisan di bawah gambar pohon natal "sungguh bahagia, menikmati gemerlap pohon natal sambil mendengarkan mertua mengaji".
Atau bagi nenek yang kami sapa dengan mama tua, yang justru terang terangan mengatakan bahwa fanatisme dalam ranah apapun tak terkecuali agama, justru hanya mempersempit nalar, menutup pikir akan eksistensi diluar diri. (Daebaakk, nenek-nenek moderate)
Menengok kata yang serupa untuk sikap penghargaan terhadap orang lain berdasarkan mata pelajaran ppkn, ada simpati.
Sympati berarti 1. (capacity for) sharing or understanding the feeling of others. Di sini sudah mulai ada "feeling", rasa. Misal seorang teman kehilangan sepeda atau motor karena lalai menyimpannya. Kita menunjukkan simpati, tulus merasakan apa yang dirasakan rekan kita.
Sedang satu tingkat diatas simpati ada empati.
Emphaty is The action of understanding. Verbanya berempati yang berarti melakukan empati.
Levelnya disini sudah pada berbuat. Do something. Merasakan apa yang lian rasa. Misal Ketika melihat seseorang butuh pertolongan, kita berbuat, menolong mereka.
Kita tahu bersama, ada objektivitas absolut di muka bumi ini. Semua tindakan selalu didasari asas kesukaan, kepentingan, dan atau pertimbangan konsekuensi. Bahkan tindakan impulsif yang diambil pun sudah merupakan pertimbangan dari alam bawah sadar. Sebuah tindakan selalu didasari motif. Jika outputnya berupa tindakan negatif, inputnya tentu negatif.
Terkait toleransi, simpati atau empati kah aksi mereka, dan apakah yang muda mudi ini lakukan adalah sebuah penuntasan penasaran atau bukan, tergantung bagaimana mereka menyikapi.
Jika tolerasi beragama, mereka itu toleransi jenis apa ?
Komentar
Posting Komentar